Sabtu, 25 September 2010

Pentingnya menegakkan Kebenaran dan Keadilan dalam kehidupan

Keadilan, sebuah kata yang manis di mulut dan merdu di telinga. Betapa banyak kita jumpai orang yang ingin menegakkannya. Ada yang berjuang melalui jalur hukum dengan mendirikan berbagai lembaga bantuan hukum. Ada pula yang berjuang melalui jalur politik dengan mendirikan partai. Ada pula yang berjuang melalui gerakan-gerakan massa dengan berorasi dan membongkar borok-borok sekelompok orang yang dianggap durjana. Ada pula yang berjuang melalui media massa dengan menerbitkan selebaran dan surat kabar tentangnya. Semuanya ingin meraih sebuah kebaikan, yaitu keadilan. Namun sangat disayangkan. Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi tidak mendapatkannya.

Kalau kita mau jujur bertanya kepada diri kita masing-masing, sejauh manakah kita mengerti hakikat keadilan dan kepada siapa saja keadilan itu harus kita terapkan. Maka mungkin saja gambaran tentang keadilan itu ternyata masih samar dan rancu di dalam benak kita. Ada perkara yang kita anggap biasa dan sepele namun ternyata itu termasuk kezaliman yang sangat besar. Sebaliknya bisa jadi sesuatu yang kita anggap sebagai nilai keadilan yang sangat tinggi tapi ternyata masih ada keadilan lain yang lebih tinggi dan lebih berhak untuk dibela. Karena itulah di sini kami ingin mengajak para pembaca yang budiman untuk kembali memandang masalah yang ada di hadapan kita dengan kacamata Al-Qur’an dan As Sunnah.

Allah Memerintahkan Kita untuk Berbuat Adil

Di dalam Al-Qur’an Allah menyatakan:

يٰأَيُّهَا الَّذينَ ءامَنوا كونوا قَوّٰمينَ لِلَّهِ شُهَداءَ بِالقِسطِ ۖ وَلا يَجرِمَنَّكُم شَنَـٔانُ قَومٍ عَلىٰ أَلّا تَعدِلُوا ۚ اعدِلوا هُوَ أَقرَبُ لِلتَّقوىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبيرٌ بِما تَعمَلونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil. Berbuat adillah karena ia lebih mendekati ketakwaan.”

(QS. Al Maa’idah: 8)

Ketika mengomentari ayat “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang menegakkan kebenaran, menjadi saksi karena Allah” Syaikh Abu Bakar Al Jazaa’iri hafizhahullah mengatakan, “Artinya (Allah memerintahkan untuk) menegakkan keadilan dalam hal hukum dan persaksian…” (Nidaa’atur Rahman, hal. 86) Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan, “…Setiap kali kalian bersemangat menegakkan keadilan dan bersungguh-sungguh untuk menerapkannya maka hal itu akan membuat kalian semakin lebih dekat kepada ketakwaan hati. Apabila keadilan diterapkan dengan sempurna maka ketakwaan pun menjadi sempurna.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 224)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan tentang hakikat keadilan. Beliau menerangkan bahwa makna adil adalah menunaikan hak kepada setiap pemiliknya. Atau bisa juga diartikan dengan mendudukkan setiap pemilik kedudukan pada tempat yang semestinya (silakan lihat Huquuq Da’at Ilaihal Fithrah wa Qararat Haa Asy Syari’ah, hal. 9) Dengan demikian inti pengertian adil ialah masalah hak dan kedudukan. Segala sesuatu memiliki hak dan kedudukan. Sampai orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin pun memiliki hak keamanan di dalam Islam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa membunuh orang kafir mu’ahad maka tidak akan bisa mencium aroma surga.” (HR. Bukhari)

Mengenal Keadilan dengan Lawannya

Lawan dari adil adalah zalim. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa kezaliman itu ada tiga macam:

1. Kezaliman yang paling zalim, yaitu berbuat syirik kepada Allah. Meskipun orang yang melakukan syirik tidaklah dikatakan menzalimi Allah, bahkan dirinya sendirilah yang dizaliminya. Karena dia telah menghinakan dirinya kepada sesuatu yang tidak layak untuk disembah.

2. Kezaliman seseorang terhadap dirinya sendiri. Yaitu dia tidak menunaikan hak dirinya sendiri. Seperti contohnya berpuasa tanpa berbuka, shalat malam terus dan tidak mau tidur.

3. Kezaliman seseorang kepada orang lain. Seperti misalnya ketika dia melanggar hak orang lain dengan memukulnya, membunuhnya, merampas hartanya, dan lain sebagainya. (lihat Al Qaul Al Mufid, I/35, Ad Daa’ wad Dawaa’ hal. 145)

Sehingga dapat kita simpulkan, apabila seseorang ingin berbuat adil dengan sempurna maka dia harus bertauhid dengan benar, meninggalkan kezaliman terhadap diri sendiri maupun kepada sesama hamba. Dengan ketiga hal inilah keadilan hakiki akan tegak. Sungguh aneh apabila ada orang yang menzalimi hewan disebut orang yang zalim, lantas kepada orang yang berbuat syirik justru dibiarkan leluasa dengan alasan hak asasi manusia?! Syirik disebut perbuatan zalim karena dengannya seorang hamba telah menujukan ibadah kepada sesuatu yang tidak berhak mendapatkan peribadahan. Padahal tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah. Nabi bersabda, “Hak Allah yang harus ditunaikan oleh hamba adalah mereka menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Oleh karena itulah Luqman menasihati anaknya untuk tidak berbuat syirik, karena syirik termasuk kezaliman. Sebagaimana difirmankan Allah ta’ala yang artinya, “Sesungguhnya syirik itu kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)

Sebagaimana kezaliman itu bertingkat-tingkat maka keadilan pun demikian. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Kami telah mengutus para utusan Kami dengan keterangan-keterangan, dan Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca supaya manusia menegakkan keadilan.” (QS. Al Hadiid: 25)

Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Allah subhanahu wa ta’ala memberitakan bahwa Dia mengutus para Rasul-Nya, menurunkan kitab-kitab-Nya supaya manusia menegakkan al qisth yaitu keadilan. Salah satu di antara bentuk keadilan yang paling agung adalah tauhid. Ia adalah pokok terbesar keadilan dan pilar penegaknya. Sedangkan syirik adalah kezaliman yang sangat besar. Sehingga syirik merupakan kezaliman yang paling zalim, sedangkan tauhid merupakan keadilan yang paling adil…” (Ad Daa’ wad Dawaa’, hal. 145)

Lebih Dekat Mengenali Kesyirikan

Sebagaimana sudah dinyatakan di muka bahwa syirik termasuk kezaliman. Bahkan ia tergolong kezaliman yang terbesar karena menyangkut hak Allah ta’ala, pencipta dan penguasa alam semesta. Maka sudah selayaknya perkara ini kita kupas lebih dalam. Pembaca, semoga Allah memberikan taufik kepada kita. Para ulama telah mendefinisikan syirik sebagai sebuah tindakan menyamakan sesuatu selain Allah dengan Allah dalam hal-hal yang termasuk kekhususan Allah.

Kekhususan Allah itu meliputi tiga perkara:

1. Rububiyah-Nya seperti menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberikan rezeki, mengatur alam semesta, menguasainya, mengabulkan doa dan lain sebagainya.

2. Uluhiyah-Nya seperti mendapatkan persembahan kurban, sembelihan, menjadi tempat meminta pertolongan, menjadi tujuan peribadahan, menjadi satu-satunya penetap syari’at dan lain sebagainya.

3. Asma’ wa shifat-Nya seperti memiliki nama Allah, Ar Rahman dan Ar Rabb. Atau menyandang sifat mengetahui hal yang ghaib, dan semacamnya.

Dengan demikian syirik itu terbagi tiga: syirik dalam hal rububiyah, syirik dalam hal uluhiyah maupun syirik dalam hal asma’ wa shifat. Contoh sederhana yang bisa menggambarkan terjadinya ketiga macam syirik ini sekaligus adalah apabila ada seseorang yang berdoa meminta pertolongan kepada wali yang sudah mati. Di dalam tindakan tersebut tergabung tiga macam syirik sekaligus, mari kita buktikan!

Pertama, seorang yang berdoa kepada wali berarti dia meyakini wali bisa mengabulkan permintaannya. Ini berarti dia telah terjatuh dalam syirik rububiyah.

Kedua, seorang yang berdoa kepada wali berarti dia telah menunjukan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah, yaitu doa. Padahal Nabi bersabda, “Doa itulah ibadah” (HR. Tirmidzi) Ini berarti dia telah terjatuh dalam syirik uluhiyah atau syirik ibadah.

Ketiga, seorang yang berdoa kepada wali maka berarti dia meyakini wali itu bisa mendengar doanya, padahal si wali telah mati. Ini menjerumuskan dirinya ke dalam syirik dalam hal sifat-sifat Allah ta’ala, yaitu Maha mendengar. Dia menyamakan kemampuan mendengar wali tersebut dengan kemampuan mendengar Allah ta’ala. Maha suci Allah dari apa yang mereka lakukan. Nah, apakah perbuatan seperti ini pernah terbayang di benak kita kalau itu termasuk kezaliman ? Ataukah bahkan sebaliknya, ada yang menganggapnya bagian tradisi nenek moyang yang layak menjadi aset pariwisata ?!

Memberantas Kezaliman dengan Kezaliman

Aneh tapi nyata. Sebagian orang ada yang mengatasnamakan dirinya sebagai pejuang keadilan. Mereka ingin membela hak-hak rakyat yang tertindas dan dizalimi. Namun di sisi lain cara yang mereka tempuh juga zalim. Mungkin benar juga orang yang menyebut tindakan mereka ini seperti ulahnya Robin Hood ’si pencuri yang baik’. Padahal mana ada pencuri yang baik ? Mereka mengajak rakyat untuk bergabung dalam sebuah sistem yang zalim. Yaitu sebuah sistem bernegara yang tidak membedakan hak dan kedudukan lelaki dengan wanita. Padahal Al-Qur’an yang mulia dengan tegas mengatakan, “Dan tidaklah laki-laki sama sebagaimana wanita.”

(QS. Ali Imran: 36)

Rasulullah pun dengan tegas mengatakan, “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan kepemimpinan mereka kepada perempuan.”

(HR. Bukhari)

Mereka ingin agar rakyat mendukung sistem ini, yang dengannya suara seorang ulama disejajarkan dengan suara seorang pejudi kelas kakap. Yang dengannya suara seorang kafir seharga dengan suara seorang muslim. Padahal Allah ta’ala dengan tegas menyatakan, “Katakanlah, ‘Apakah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu?’”

(QS. Az Zumar: 9)

Allah juga berfirman, “Apakah Kami akan menjadikan orang-orang muslim sebagaimana halnya orang-orang yang pendosa (kafir)”

(QS. Al Qalam : 35)

Allah juga berfirman, “Akankah Kami akan menjadikan (keadaan) orang-orang yang bertakwa sama dengan orang yang gemar berbuat dosa?”

(QS. Shaad: 28)

Duhai, alangkah zalimnya mereka ini. Belum lagi kezaliman lain yang timbul tatkala terjadi pengambilan keputusan hukum di tangan rakyat, kekuasaan di tangan rakyat. Padahal Allah berfirman, “Barang siapa yang tidak memutuskan hukum dengan yang diturunkan Allah maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”

(QS. Al Maa’idah: 45)

Seolah-olah suara rakyat adalah segala-galanya. Siapa yang terbanyak suaranya itulah yang menang dalam pertarungan kekuasaan. Lalu apakah bedanya sistem ini dengan hukum rimba. Di sana, binatang yang besar dan kuat badannya mengalahkan binatang yang kecil dan lemah. Dan di sini, suara yang banyak mengalahkan suara yang sedikit, wahai orang yang berakal apa bedanya demokrasi dengan hukum rimba?! Maka pantaslah apabila singa mendapatkan kedudukan sebagai raja hutan, karena singa paling kuat, paling ganas dan paling menakutkan suaranya, dan tentu saja paling kejam apabila menghabisi mangsanya!! Wahai para dai penyeru keadilan dan kesejahteraan, di manakah keadilan yang kalian perjuangkan ? Hak siapakah yang kalian bela? Dengan sistem impor ini kalian telah mensejajarkan umat Islam yang dimuliakan Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang kafir yang dihinakan oleh Allah dan Rasul-Nya. Adakah penghinaan yang lebih jelek daripada penghinaan ini ?

Tauhid Awwalan Ya Du’aatal Islam

Memang tidak berlebihan apabila para ulama senantiasa mewasiatkan kepada para dai untuk mengedepankan dakwah tauhid dalam menempuh perbaikan di dalam tubuh umat. Bagaimana tidak ? Karena dengan tauhidlah hati-hati manusia akan bergantung semata-mata kepada Tuhannya. Sehingga apa pun hukum yang diberikan Allah serta merta mereka terima dengan lapang dada dan tangan terbuka. Karena dengan tauhidlah wanita-wanita mukminah akan kembali tergerak untuk mengenakan kembali jilbab dan gaun rasa malunya. Sehingga pornografi akan tercabut dan menjadi sampah yang disingkirkan oleh para pemuda. Karena dengan tauhidlah hati para orang tua akan kembali tersadar akan pentingnya pendidikan iman kepada putra dan putrinya, sehingga perguruan tinggi, sekolah dan pesantren akan marak dengan mahasiswa, murid, santriwan dan santriwati yang bertakwa. Dan dengan tauhid itulah akan tegak keadilan tertinggi di jagat raya, dan tumbanglah kezaliman terjelek (baca: syirik) yang mengotori sejarah peradaban umat manusia.

Tauhid, inilah ruh dakwah dan perjuangan para Nabi dan Rasul ‘alaihimush shalatu was salaam, janganlah kita sepelekan. Allah ta’ala berfirman, “Dan sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang Rasul yang mengajak sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.”

(QS. An Nahl: 36)

Sedangkan thaghut adalah segala sesuatu yang disembah selain Allah, baik dengan cara dipatuhi, disembah atau diikuti. Lalu bagaimana dengan sistem demokrasi. Bukankah manusia mematuhinya dan juga mengikutinya, sampai sebagian di antara mereka pun terjerumus dalam kesyirikan dalam hal ketaatan kepada selain Allah ta’ala. Taat kepada sistem ciptaan manusia yang bertentangan dengan keadilan Allah ta’ala.

Demokrasi bukan cara yang benar untuk bisa mendirikan sebuah negara yang islami. Bagaimana mau dibuat islami sementara ketika menerapkan sistem ini sudah sejak awal Islam disejajarkan dengan agama-agama kekafiran. Lalu kapankah terwujud sebuah negara Islam yang kalian dambakan ? Itu hanya ada dalam khayalan. Saudaraku, sayangilah waktumu, sayanglah energimu, sayangilah harta dan tenagamu. Marilah bergabung bersama barisan peniti jejak generasi terbaik yang dipimpin oleh para penerus ulama salaf di masa kini; Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahumullah beserta murid-murid mereka dan para ulama lain yang berjalan di atas manhaj mereka, yaitu manhaj salaf. Tebarkan tauhid di tengah umat, hidupkan Sunnah yang telah ditinggalkan masyarakat. Niscaya keberhasilan akan tercapai. Persatuan umat pun akan terjalin. Dan ikatan ukhuwah tidak akan lagi perlu dirusak oleh belenggu-belenggu partai dan sekte. Bersatulah di atas manhaj salaf ahlus sunnah wal jama’ah.

Allah telah menjanjikan kepada kalian,

“Jika kalian menolong (agama) Allah maka Allah pasti akan menolong kalian dan mengokohkan kedudukan kalian.”

(QS. Muhammad: 7)

Wallahu a’lam bish shawaab.

***

Rabu, 15 September 2010

Jangan Takut Menghadapi Ujian



بِسمِ اللَّهِ الرَّحمٰنِ الرَّحيمِ

Kalo kita berusaha mencermati situasi di sekitar kita saat ini, terasa betapa kehidupan ini dirasakan sangat berat.
Tahukah Anda apa yang harus kita lakukan untuk menghadapinya?

Islam adalah agama yang sempurna, agama yang hanif, agama yang telah mengajarkan bagi pemeluknya jalan terbaik untuk menghadapi kehidupan ini. Dari perkara yang sangat besar sampai yang terkecil sekalipun. Dari masalah yang terpenting hingga masalah yang sepele sekalipun. Semuanya sudah diajarkan dalam agama ini, tinggal kita mau mempelajarinya ataukah tidak...?

Termasuk dalam masalah menghadapi suatu ujian, agama kita sudah memberikan petunjuk untuk bisa menyelesaikan berbagai ujian kehidupan tersebut, diantaranya:

Pertama, kita harus yakin bahwa cobaan itu merupakan ekspresi cinta Allah pada hamba-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala memberikan cobaan agar kita menjadi lebih dewasa dan matang dalam mengarungi kehidupan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang yang baik maka ia diberi-Nya cobaan.” (HR. Bukhari)

Kedua, yakini bahwa makin besar dan banyak cobaan yang Allah turunkan kepada kita, makin besar pula pahala dan sayang Allah yang akan dilimpahkan kepada kita jika kita bisa menyelesaikan setiap ujian itu secara baik. Anas radhiyallahu ‘anhu berkata: Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya besarnya pahala itu tergantung pada besarnya cobaan. Sesungguhnya apabila Allah Ta’ala itu mencintai suatu kaum maka Ia mencobanya. Barang siapa yang rela menerimanya, ia mendapat keridhoan Allah, dan barang siapa yang murka, maka ia pun mendapat murka Allah.” (HR. Tirmidzi)

Ketiga, yakinlah bahwa setiap ujian itu akan menghapuskan dosa-dosa yang pernah kita kerjakan. Abu Sa’id dan Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang muslim yang tertimpa penderitaan, kegundahan, kesedihan, kesakitan, gangguan, dan kerisauan, bahkan hanya terkena duri sekalipun, semuanya itu merupakan kafarat (penebus) dari dosa-dosanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Keempat, Apalagi kalau Kita selalu berpikir positif bahwa apapun yang menimpa diri kita akan menjadi kebaikan ... !. Abu Yahya Shuhaib bin Sinan berkata, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh menakjubkan sikap seorang mukmin itu, segala keadaan dianggapnya baik dan hal ini tidak akan terjadi kecuali bagi seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, ia bersyukur, maka itu lebih baik baginya, dan apabila ditimpa penderitaan, ia bersabar, maka itu lebih baik baginya.” (HR. Muslim)

Kelima, kita harus yakin bahwa setelah dalam kesulitan pasti ada kemudahan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surat Al Insyirah ayat 5-6: “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” Ingatlah, janji Allah pastilah benar.

Keenam, kita harus selalu optimis bahwa kita bisa menyelesaikan setiap ujian yang Allah berikan, karena Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan memberikan ujian di luar kemampuan hamba-Nya. Optimisme bisa melahirkan energi yang tersembunyi dalam diri kita, karena itu optimisme bisa menjadi bahan bakar untuk menyelesaikan segala persoalan. “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)

Ketujuh, kita harus menghadapi ujian dengan usaha dan do’a. Kerahkan segala ikhtiar untuk menyelesaikan setiap ujian, dan bingkai usaha itu dengan do’a. “Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (QS. Al Insyirah: 7–8).

“Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan do’amu.” (QS. Al-Mu’min: 60)

Nah... apapun yang menimpa diri kita, Insya Allah akan menjadi kebaikan kalau dihadapi dengan sikap positif, optimisme, ikhtiar yang maksimal dan dibingkai dengan do’a. Sesungguhnya pertolongan Allah akan turun kalau kita berada di klimaksnya ujian.

So... jadikanlah ujian sebagai tangga untuk meraih pertolongan dan cinta Allah subhanahu wa ta’ala.

Wallahu musta’an....


.

Sabtu, 11 September 2010

Memahami Kembali Makna Idul Fitri


By Muhammad Makmun


Ketika mendengar kata Idul Fitri, tentu dalam benak setiap orang yang ada adalah kebahagiaan dan kemenangan. Di hari itu semua umat Islam di seluruh penjuru dunia, baik yang ada di pelosok desa maupun yang ada di kota, yang tua, muda sampai yang kecil dapat merasakan kebahagiaan dan keceriaan khususnya kaum muslimin yang telah berhasil melaksanakan puasa penuh di bulan Ramadhan.


Dalam Idul Fitri juga ditandai dengan adanya ”mudik (pulang kampung)” yang notabene sangat identik dengan kebudayaan lokal Indonesia. Selain itu, hari raya Idul Fitri juga kerap ditandai dengan mayoritas mereka memakai sesuatu yang baru, mulai dari pakaian baru, sepatu baru, sepeda baru, mobil baru, atau bahkan istri baru (bagi yang baru menikah). Maklum saja karena perputaran uang terbesar ada pada saat Lebaran. Kalau sudah demikian, bagaimana sebenarnya makna dari Idul Fitri itu sendiri. Apakah Idul Fitri cukup ditandai dengan sesuatu yang baru, atau dengan mudik untuk bersilaturrahim kepada sanak saudara dan kerabat saja?.


Idul Fitri, ya suatu hari raya yang dirayakan setelah umat Islam melaksanakan ibadah puasa Ramadhan selama satu bulan penuh. Dinamakan Idul Fitri karena manusia pada hari itu laksana seorang bayi yang baru keluar dari dalam kandungan yang tidak mempunyai dosa dan salah. Bersihnya lir kadiyo si jabang bayi yang baru lahir dari gua garbaning ibu. Sebab baru saja kita semua melaksanakan ujian di dalam bulan suci Ramadhan, yakni melakukan puasa satu bulan penuh dengan menahan hawa nafsu, tadarrus al-Qur’an, tarawih, dan mengeluarkan zakat fitrah, serta ibadah-ibadah lainnya, termasuk menyantuni fakir miskin dan anak yatim


Idul Fitri juga diartikan dengan kembali ke fitrah (awal kejadian). Dalam arti mulai hari itu dan seterusnya, diharapkan kita semua kembali pada fitrah. Di mana pada awal kejadian, semua manusia dalam keadaan mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan. Dalam istilah sekarang ini dikenal dengan ”Perjanjian Primordial” sebuah perjanjian antara manusia dengan Allah yang berisi pengakuan ke Tuhan an, sebagaimana yang terekam dalam surah al-A’raf (7) ayat 172 :


وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي ءَادَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ


(Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhan-mu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”).


Seiring dengan perkembangan itu sendiri, banyak di antara manusia dalam perjalanan hidupnya yang melupakan Allah serta telah melakukan dosa dan salah kepada Allah dan kepada sesama manusia. Untuk itu, memahami kembali makna Idul Fitri (kembali ke fitrah) dengan membangun kembali pengabdian hanya kepada Allah adalah sebuah keharusan sehingga kita semua dapat menjadi hamba-hamba muttaqin dan hamba yang tidak mempunyai dosa. Dosa kepada Allah terhapus dengan jalan bertaubat dan dosa kepada sesama manusia dapat terhapus dengan silaturrahim.


Cara Menghapus Dosa Kepada Allah Adalah dengan Taubat

Dosa merupakan catatan keburukan di sisi Allah yang telah dilakukan oleh setiap manusia karena mereka tidak menjalankan perintah atau karena mereka melanggar larangan Allah dan RasulNya.

Bulan Ramadhan merupakan bulan khusus yang dikhususkan Allah untuk Umat Islam. Di bulan ini terdapat maghfirah, rahmah dan itqun minan nar. Selain itu, bulan Ramadhan juga menjadi sarana umat manusia untuk memohon dan meminta pengampunan dari Allah dengan jalan melaksanakan ibadah puasa dan shalat tarawih. Sebagaimana hadis Rasul:

أخرج البخاري: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلاَمٍ قَالَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

(Dari Muhammad bin Salam dari Muhammad bin Faudhail dari Yahya bin Sa’id dari Abi Salamah dari Abi Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda : Barangsiapa yang berpuasa pada bulan ramadhan dengan kepercayaan bahwa perintah puasa itu dari Allah dan hanya mengharap pahala dari Allah akan diampuni dosanya).


Begitu juga Allah menyediakan Qiyam Ramadhan (Tarawih) sebagai sarana penghapusan dosa apabila dilakukan karena Allah dan hanya mengharap pahala dari Allah. Sebagaimana ditegaskan dalam hadis shahih pada kitab Sunan Abi Dawud


أخرج ابي داود : حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُتَوَكِّلِ قَالاَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ قَالَ الْحَسَنُ فِي حَدِيثِهِ وَمَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَغِّبُ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَأْمُرَهُمْ بِعَزِيمَةٍ ثُمَّ يَقُولُ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ ثُمَّ كَانَ اْلأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ فِي خِلاَفَةِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَصَدْرًا مِنْ خِلاَفَةِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ


(Dari al-Hasan bin Ali dan Muhammad bin al-Mutawakkil keduanya dari Abd al-Razaq dari al-Ma’mar dari al-Hasan dan Malik bin Anas dari al-Zuhri dari Abi Salamah dari Abi Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW senang melaksanakan Qiyam Ramadhan (Tarawih) meskipun tidak mewajibkannya. Kemudian bersabda :”Barangsiapa melaksanakan Qiyam Ramadhan (tarawih) karena Allah dan mencari pahala dari Allah akan diampuni dosanya yang telah lalu. Kemudian Rasulullah wafat, sedang masalah Qiyam Ramadhan tetap seperti sediakala pada pemerintahan Abu Bakar dan pada awal pemerintahan Umar bin Khattab).


Dengan rajin dan tekun melaksanakan puasa dan shalat tarawih dengan tulus mencari ridho dan pahala dari Allah, niscaya dosa dan kesalahan kita kepada Allah telah terampuni kecuali dosa syirik sehingga kita menjadi hamba yang bersih dari dosa. Setelah dosa kita diampuni Allah, maka tahapan selanjutnya adalah membersihkan dosa kita kepada sesama manusia.


Idul Fitri atau kembali ke fitrah akan sempurna tatkala terhapusnya dosa kita kepada Allah diikuti dengan terhapusnya dosa kita kepada sesama manusia. Terhapusnya dosa kepada sesama manusia dengan jalan kita memohon maaf dan memaafkan orang lain.


Nah, dengan momentum Idul Fitri ini kita mari jadikan sebagai sarana meminta maaf dan memaafkan orang lain dengan bersilaturrahim (menyambung kasih sayang) baik kepada suami atau isteri, kedua orang tua, mertua, anak, keluarga, sanak kerabat, tetangga serta teman dan relasi kita ketika ada kebencian terhadap mereka. Sebab kasih sayang merupakan lawan dari kebencian. Sehingga orang yang dalam dirinya ada kebencian pada suami atau istri, orang tua, mertua, anak, keluarga, sanak kerabat, tetangga, teman dan relasi disebut dengan pemutus kasih sayang (Qathiul Rahim). Orang yang memutuskan kasih sayang (Qathiul Rahim) dalam hadis shahih dijelaskan bahwa mereka ini tidak akan masuk surga. Sebagaimana sabda Rasul:


أخرج البخاري: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ قَالَ إِنَّ جُبَيْرَ بْنَ مُطْعِمٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ


(Dari Yahya bin Bukair dari al-Lais dari Uqail dari Ibn Syihab bahwa Muhammad bin Jubair bin Muth’im berkata bahwa ia mendengar Nabi SAW bersabda : pemutus kasih sayang tidak akan masuk surga).

Di hadis lain juga dijelaskan:


أخرج أحمد: حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنِي الْخَزْرَجُ يَعْنِي ابْنَ عُثْمَانَ السَّعْدِيَّ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ يَعْنِي مَوْلَى عُثْمَانَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ أَعْمَالَ بَنِي آدَمَ تُعْرَضُ كُلَّ خَمِيسٍ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ فَلاَ يُقْبَلُ عَمَلُ قَاطِعِ رَحِمٍ


(Dari Yunus bin Muhammad dari al-Khazraj (Ibn Usman al-Sa’diy dari Abi Ayub (Maula Usman) dari Abi Hurairah berkata : aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : Sungguh perbuatan Bani Adam (manusia) dilaporkan setiap kamis malam jum’at, maka tidak akan diterima perbuatan (baik) orang yang memutuskan kasih sayang).


Di samping kita meminta maaf dan memberi maaf, kita juga harus dan wajib sebisa mungkin menjadi pribadi pemaaf. Memberi maaf berbeda dengan pemaaf. Kalau memberi maaf itu terjadi ketika ada orang yang meminta maaf, sedang pemaaf adalah orang yang memberi maaf atas kesalahan orang lain sebelum orang tersebut meminta maaf kepadanya. Hal ini dengan tegas ada dalam surah Ali-Imran (3) ayat 134 :


الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ


(Penghuni surga adalah) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.


Dengan demikian, mari kita jadikan Idul Fitri tahun ini berbeda dengan Idul Fitri di tahun-tahun sebelumnya karena kita telah memahami akan makna Idul Fitri. Dengan kita maksimalkan bersilaturahim untuk meminta maaf, memberi maaf dan menjadi seorang pemaaf. Jangan biarkan kedengkian dan kebencian merasuk kembali ke jiwa kita yang telah fitri (suci).


Dengan momentum ini pula, saya sebagai mahluk yang banyak dan penuh dengan kesalahan dan dosa, baik yang saya sengaja atau tidak, dengan tulus saya memohon maaf lahir batin atas semua kesalahan dan dosa saya kepada anda semua. Begitu juga sebaliknya, jika ada kesalahan dan dosa anda semua kepada saya, dengan lapang dada saya memaafkan anda. Dengan harapan, semoga kita semua menjadi manusia bersih sebagaimana bayi yang baru dilahirkan dari kandungan yang tak punya salah dan dosa.


من العائدين والفائزين, كل عام وأنتم بخير


.

Kamis, 09 September 2010

Minal Aidzin wal Faizin




Harumnya aroma maaf mulai merebak, menutup Ramadhan dengan indah, menyambut datangnya hari suci yang penuh berkah. Ya Allah Maafkan kami yang sering menyakiti saudara kami dengan dusta, prasangka dan ingkar janji. Taqabballahu hu Minna Wa Minkum, shiyaamana wa shiyamakum. Kullu’aamin wa antum bi khoir, Tiada kata paling indah selain kata Maaf & tiada kata paling mulia selain kata Memaafkan, Izinkan Kami Sekeluarga memohonkan keikhlasan atas segala khilaf dalam ucapan dan tingkah laku selama ini.
Ijinkan kaki tangan bersimpah maaf untuk lisan yang tidak terjaga, untuk janji yang terabaikan, hati yang berprasangka dan sikap yang menyakitkan.
“Minal Aidzin wal Faizin, Mohon Maaf Lahir dan Batin”

Minggu, 05 September 2010

MENYEGARKAN IMAN

Berjalan ke arah Akhirat

Semua manusia sadar atau pun tidak, sesungguhnya mereka sedang berjalan menuju kehidupan yang abadi, yaitu akhirat. Itu adalah suatu hal yang pasti. Karena kita tahu dibalik nama kehidupan itu ada kematian. Betapa banyak manusia yang senantiasa memupuk prestasi hidup di dunia ini; siang dan malam selalu berfikir dan bekerja keras meraih prestasi satu demi satu, namun setelah berada di puncak, ternyata berakhir dengan kematian.

Seorang penguasa zalim dengan kezalimannya akan berakhir pada kematian, seorang pejabat yang suka korupsi dengan ketamakannya akan berakhir pada kematian, para penentang kebenaran dengan kesombongannya akan berakhir pada kematian, para pengusaha besar dengan kesuksesan usahanya akan berakhir pada kematian, bahkan seorang pengemis miskin dengan derita kemiskinannya akan berakhir pula pada kematian. Apapun ambisi kita di dunia ini, toh pada akhirnya akan bertemu dengan kematian.
Kematian bukanlah akhir dari kehidupan kita, tetapi justeru ia adalah awal dari kehidupan abadi, di sanalah kehidupan sebenarnya dimulai.

يا أيها الإنسان إنك كادح إلى ربك كدحا فملاقيه

“ Wahai manusia, sesunggunya kamu bekerja keras menuju Tuhanmu, maka kamu akan menemui-Nya.”
(Al-Insyiqoq : 6)

Semua manusia di dunia ini bersungguh-sungguh dalam hidupnya; orang yang bekerja untuk mengejar kesenangan dunia, mereka bersungguh-sungguh dalam kerjanya, orang yang beribadah dan beramal shaleh, bersungguh-sungguh dalam ibadah dan amal shalehnya, orang yang melakukan dosa bersungguh-sungguh dalam melakukan dosanya, orang yang suka hura-hura bersungguh-sungguh dalam hura-huranya, bahkan orang pemalas pun bersungguh-sungguh dalam kemalasannya. Apapun yang dikerjakan oleh manusia, mereka sedang menuju Tuhannya. Pada saat waktunya telah sampai, maka Allah SWT akan memanggilnya untuk mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya selama di dunia.

Hidup di dunia ini hanyalah sebentar, tidak lama. Pernahkah kita merasa lama terhadap kehidupan masa lalu kita yang telah berlalu? Masa kanak-kanak yang telah kita lalui, masa remaja, dewasa, ketika kita berada di masa tua, begitu pula setelah kematian tiba, semuanya terasa sekejap mata.

Oleh sebab itulah Rasulullah saw menggambarkan bahwa hidup di dunia ini ibarat kita berteduh dibawah pohon hanya untuk sekedar mampir, tak lama kemudian melanjutkan kembali perjalanan. Atau seperti orang yang bermimpi, setelah kematian datang, kita terbangun dari mimpi kita.
Hal ini membuktikan bahwa kehidupan sebenarnya adalah kehidupan di akhirat kelak setelah kematian. Kehidupan di dunia hanyalah permainan dan senda gurau, dan juga merupakan ujian, yang di akhirnya akan terbukti manakah orang yang berhasil dan manakah orang yang tidak berhasil. Orang yang berhasil akan mendapatkan surga, sementara orang yang tidak berhasil akan masuk ke dalam neraka. Hanya dua itu saja tempat tinggal di sana, tak ada yang ketiganya.

وما هذه الحياة الدنيا إلا لهو ولعب وإن الدار الآخرة لهي الحيوان لو كانوا يعلمون

“ Dan kehidupan dunia ini hanyalah senda gurau dan permainan. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui.”
(Al-Ankabut : 64).

Lantas, kehidupan manakah yang lebih baik, kehidupan duniakah atau kehidupan akhirat? Orang yang waras akan memilih kehidupan akhirat yang abadi dibanding kehidupan dunia yang sementara. Lalu mengapa banyak manusia yang mengorbankan kehidupan akhirat demi mengejar kehidupan dunia. Demi mendapatkan kesenangan duniawi mereka berani menghalalkan cara-cara yang haram dan melupakan kewajibannya sebagai hamba Allah. Tidak sedikit orang yang bekerja keras untuk mendapatkan keuntungan tetapi lupa mengerjakan shalat, menumpuk-numpuk harta dan lupa membayar zakat serta enggan melaksanakan ibadah haji, tidak mau menahan syahwatnya dengan melaksanakan shaum. Banyak orang yang lebih suka mendatangi tempat-tempat maksiat ketimbang mendatangi masjid dan majlis ta’lim. Dan lain sebagainya.

بل تؤثرون الحياة الدنيا والآخرة خير وأبقى

“ Tetapi kalian lebih mengutamakan kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. “
(Al-A’la : 16-17).

Di sinilah, kita harus senantiasa menanamkan keyakinan bahwa kehidupan akhirat lebih baik dari pada kehidupan dunia yang sedang kita jalani ini. Bukan berarti melupakan dunia sama sekali, karena mau tidak mau, dunia ini harus kita jalani sebagai jembatan menuji akhirat. Di sini masalahnya adalah masalah orientasi. Kita bekerja keras di dunia ini apakah untuk mengejar kebahagiaan di akhirat ataukah hanya sebatas mengejar kebahagiaan di dunia? Bagi seorang muslim yang sejati tentunya yang menjadi orientasi hidupnya adalah mengejar kebahagiaan di akhirat, yang berarti bercita-cita mendapatkan ridho, rahmat, surga dan bertemu dengan Allah SWT.

Orang yang benar-benar mengejar kebahagiaan di akhirat, ia tidak akan melupakan kehidupannya di dunia, karena ia sadar bahwa dunia ini adalah ladang untuk ditanami sebanyak-banyaknya pahala, yang panennya bisa dirasakan di akhirat kelak. Tanpa dikejarpun, sebetulnya kebahagiaan di dunia ini akan kita dapatkan jika kita benar-benar mengejar akhirat. Logikanya adalah, dunia itu dekat sementara akhirat itu jauh. Jika kita melakukan perjalanan dengan tujuan yang jauh, secara otomatis yang dekat bisa kita lewati. Sementara jika kita melakukan perjalanan dengan tujuan yang dekat, mungkin kita akan sampai pada tempat yang dekat itu, namun mustahil kita akan sampai di tempat yang jauh. Dalam hal ini Rasulullah saw menegaskan :

من كانت الدنيا همه فرق الله عليه أمره ، وجعل فقره بين عينيه ، ولم يأته من الدنيا إلا ما كتب له ، ومن كانت الآخرة نيته جمع الله له أمره وجعل غناه في قلبه وأتته الدنيا وهي راغمة

“ Barang siapa yang menjadikan dunia sebagai tujuan satu-satunya, maka Allah akan menjauhkan dia dari keinginannya. Dia akan menjadikan kemiskinan di depan matanya. Ia tidak diberi bagian dunia kecuali yang telah ditetapkan untuknya. Dan barangsiapa menjadikan akhirat sebagai tujuannya, maka Allah akan mengumpulkan keinginannya, menjadikan kekayaann dalam hatinya, dan dunia akan mendatanginya secara melimpah ruah.”
(Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah, Syekh Al-Albani).

Oleh sebab itu pula Imam Hasan Al-Bashri memberikan nasihatnya :

“ Wahai anak Adam, juallah duniamu untuk mendapatkan akhiratmu, niscaya engkau mendapatkan untung kedua-duanya. Dan janganlah engkau jual akhiratmu untuk mendapatkan duniamu, niscaya engkau akan rugi kedua-duanya. Wahai anak Adam, jika engkau melihat orang lain dalam kebaikan, maka berlombalah dengan mereka. Dan jika engkau melihat orang lain dalam keburukan, janganlah berkeinginan kepada mereka. Tinggal di sini (dunia) hanyalah sesaat, sementara menetap di sana (akhirat) dalam waktu yang lama.”
Dengan demikian, kita harus berjalan ke arah akhirat dengan menjadikannya sebagai orientasi, ambisi, cita-cita dan tujuan, sehingga keberadaan kita di dunia ini menjadi jelas.
Ada dua sikap yang dimiliki oleh orang yang mengejar kehidupan akhirat sebagaimana dalam sebuah hadits, suatu ketika Rasulullah saw memegang kedua pundak Ibnu Umar ra, lalu memberinya nasihat :

كن في الدنيا كأنك غريب أو عابر سبيل

“ Hiduplah di dunia ini seakan-akan engkau orang asing atau orang yang sedang menyebrangi jalan.” (HR. Bukhari)

Sikap pertama orang yang memburu akhirat adalah, ia hidup di dunia ini ibarat orang asing atau musafir dalam perjalanan. Artinya dia selalu mempersiapkan bekal untuk perjalanannya. Jika dia tidak memiliki bekal, tentu dia akan mendapatkan kesulitan dalam perjalanannya. Bekal seorang muslim dalam perjalanan hidupnya di dunia ini adalah bekal ketakwaan. Dengan bekal ketakwaan itulah ia akan menghampiri akhirat dengan penuh kemudahan.

Sikap kedua, ia hidup di dunia ini ibarat orang yang sedang menyebrangi jalan. Artinya, dia selalu berhati-hati, karena ia berkeinginan untuk sampai pada tempat yang dituju. Orang yang beriman akan selalu berhati-hati dalam menyebrangi kehidupan dunia ini, karena jalan di dunia ini tidaklah mulus, akan tetapi dipenuhi oleh duri-duri hawa nafsu, godaan syetan dan perhiasannya yang melenakan.

Jadi, seorang mu’min yang senantiasa memburu akhirat, kehidupannya bermuara pada dua sikap : selalu berbekal dan selalu berhati-hati. Ia selalu berbekal dengan berbagai amal shaleh, sehingga amal shaleh itu mencapai derajat sempurna menjadi ketakwaan. Dan ia selalu berhati-hati dari setiap keburukan agar tidak terjerumus ke dalamnya, yang pangkalnya adalah hawa nafsu, godaan syetan dan perhiasan dunia.

Wallahu a’lam