Rabu, 26 Mei 2010

CARA EDIT PORT SSH 22 CENTOS

Akhirnya sukses juga edit port SSH :d

Secara default SSH menggunakan port 22, tapi bagaimana agar port SSH kita bisa kita rubah menjadi port 443 atau 80 atau port yang lain nya ??

Dibawah ini akan saya tulis secara simple step by step Edit Port SSH.

1. Login pada SSH account anda, tentunya harus root / superuser.

2. setelah login, coba anda cek port berapa aja yang sudah terpakai. Dengan menggunakan command berikut : netstat -ntulp
Maka akan tampak seperti berikut :

----------------------------------------------------------------
root@server:~#netstat -ntulp
Active Internet connections (only servers)
Proto Recv-Q Send-Q Local Address Foreign Address State PID/Program name
tcp 0 0 0.0.0.0:8080 0.0.0.0:* LISTEN 31954/sshd
tcp 0 0 0.0.0.0:10000 0.0.0.0:* LISTEN 1145/perl
tcp 0 0 0.0.0.0:22 0.0.0.0:* LISTEN 31954/sshd

----------------------------------------------------------------

Kalo port yang kita inginkan ternyata sudah terpakai tinggal kill aja prosesnya :)

3. Kalo saya menginginkan penambahan port 443 atau 1080, cukup gunakan command berikut : nano /etc/ssh/sshd_config

Dan hasilnya seperti berikut :
----------------------------------------------------------------
root@server:~#nano /etc/ssh/sshd_config
# $OpenBSD: sshd_config,v 1.73 2005/12/06 22:38:28 reyk Exp $

# This is the sshd server system-wide configuration file. See
# sshd_config(5) for more information.

# This sshd was compiled with PATH=/usr/local/bin:/bin:/usr/bin

# The strategy used for options in the default sshd_config shipped with
# OpenSSH is to specify options with their default value where
# possible, but leave them commented. Uncommented options change a
# default value.

Port 22
Port 8080
Port 10000

----------------------------------------------------------------

Jika ingin melakukan penambahan Port 443 atau 1080 tinggal tambah aja :
Port 22
Port 8080
Port 10000
Port 443
Port 1080


4. Lalu save dan restart SSH anda, Dengan command : service sshd restart

5. Lalu coba cek sekali lagi dengan command : netstat -ntulp

Dan hasilnya akan nampak seperti berikut :

----------------------------------------------------------------
root@server:~#netstat -ntulp
Active Internet connections (only servers)
Proto Recv-Q Send-Q Local Address Foreign Address State PID/Program name
tcp 0 0 0.0.0.0:8080 0.0.0.0:* LISTEN 31954/sshd
tcp 0 0 0.0.0.0:10000 0.0.0.0:* LISTEN 1145/perl
tcp 0 0 0.0.0.0:22 0.0.0.0:* LISTEN 31954/sshd
tcp 0 0 0.0.0.0:1080 0.0.0.0:* LISTEN 31954/sshd
tcp 0 0 0.0.0.0:443 0.0.0.0:* LISTEN 31954/sshd

----------------------------------------------------------------

Kata teman-teman ini bisa menjadi salah satu trik Gratisan Internet. Tapi saya ga paham gimana ya caranya ??? :P

Jumat, 21 Mei 2010

PERJALANAN MENUJU PUNCAK KEKOSONGAN

¤ Keadaan Manusia Sehari hari… Sebuah Fenomena Kehidupan…

Perjalanan hidup manusia pada dasarnya sangatlah ditentukan oleh apa yang telah ada di dalam dunia. Pada saat pertama kali kita dihadirkan ke dalam dunia ini sebagai seorang bayi, kita hanyalah seperti seonggok daging yang di-lemparkan begitu saja untuk menerima keadaan tertentu. Keadaan inilah yang kemudian saling merangkai diri untuk mencetakkan sebuah sifat dasar ke dalam diri kita yang sebenarnya berlangsung tiada akhir. Tidakkah kemudian kita rasakan ketika proses ini berlangsung, kita berhadapan dengan sejumlah pertanyaan tentang kehidupan? Seandainya pertanyaan seperti ini tidak pernah terlontar di dalam hati kita sendiri, berarti kita telah mengambil sebuah keputusan besar secara tanpa sadar atas sifat dasar yang selama ini berada di dalam hidup kita.

Kita telah membuat kaku diri kita sendiri dengan keadaan tersebut. Semua itu seperti sebuah keadaan besar yang diambil dengan berpegangan pada keadaan lainnya, dan sebenarnya keadaan lainnya ini juga berpegangan pada keadaan lainnya lagi, dan seterusnya. Lalu apa artinya keadaan yang berlangsung di sepanjang hidup kita itu? Sebenarnya ia hanyalah berarti, kalau kita berpegang pada sebuah keadaan tertentu dan membuang keadaan lainnya. Padahal keadaan lain itu milik orang lain. Akhirnya, tumbuhlah sejumlah kata-kata muluk seperti subjektivitas, objektivitas, konflik, persetujuan, aturan-aturan dan sebagainya. Seandainya kita menyadari semua hal ini, hal-hal yang definitif di atas tidak akan pernah terjadi dan sejumlah pertanyaan tentang hidup manusia akan tampil ke depan untuk menengahi semua keadaan tersebut. Maka, terjunlah ke dalam pertanyaan tentang kehidupan tadi, kita akan melihat bahwa sejak awal manusia sudah diikatkan pada sekumpulan tanggung jawab yang seperti tiada habisnya. Dan ketika semua tanggung jawab tersebut terpenuhi, kita akan memasuki akar kehidupan yang sebenarnya.

Lalu bagaimana kita bisa tahu kalau kita tidak berpegang pada apapun? Bukankah di dalam diri kita sudah terisi penuh oleh skenario-skenario kehidupan manusia? Ini memang benar. Oleh sebab itu amatilah perjalanan hidup kita. Akan tiba saat-saat dimana pegangan itu mulai meregang dan skenario - skenario itu mulai luntur. Kemudian akan tiba pula saatnya dimana keramaian di dalam hati kita menjadi surut seiring menjelangnya malam. Tidakkah kemudian kita mendengar juga sebuah bisikan berdengung di dalam nurani kita?, pada saat subuh merangkak di hadapan kita? Ya…, itu adalah sebuah bisikan kesunyian, yang akan menjadi penuh makna jika kita selami. Tapi bagi orang-orang yang tidak dapat meregangkan pegangan-nya di siang maupun malam hari, bisikan ini akan memunculkan diri dengan tiba-tiba pada saat yang tepat dengan sebuah bentuk ketakutan. Terutama ketika orang itu terlempar keluar dari lautan ide manusia.

Maka, apa yang saya sebut sebagai sebuah jalan masuk terbaik untuk saat ini, adalah menanggapi arus kepekaan yang hadir melalui bisikan murni tadi. Andaikan kita peka akan fenomena itu, berarti kita telah memasuki sebuah gerbang awal dari sebuah perjalanan mental yang panjang menuju sebuah fenomena dunia yang sebenarnya.


¤ Sebuah Kepekaan…

Apa yang kita rasakan pertama adalah yang saya sebut sebagai kepekaan. Kepekaan ini …biasanya datang dengan begitu tiba -tiba, terutama ketika teriakan-teriakan di dalam jiwa kita mulai membeku oleh hadirnya sang malam. Kita akan bertanya pada diri kita sendiri, mengapa ia datang tanpa mengetuk pintu kesadaran kita terlebih dahulu?

Untuk memperkenalkan dirinya, ia tidaklah perlu mengetuk pintu dulu. Ia… sang kepekaan itu lebih senang mendobrak langsung pintu kesadaran kita, karena dalam kehidupan sehari-hari kita sudah terlalu sering hidup terkungkung di dalam dunia manusia. Ia ingin kita lebih memperhatikan dirinya daripada segala hal dalam dunia manusia tersebut. Ia juga lebih suka menjumpai kita, bukan pada saat suasana hati kita baik ataupun buruk, tetapi justru pada saat perasaan hati kita sedang apa adanya. Ia datang dan memberi tanda bahwa di dalam diri kita masih memiliki dan didasari oleh eksistensi manusia yang sebenarnya. Dan pernah suatu saat, ketika diri kita sedang akrab dengannya, ia membisikkan bahwa setiap manusia memiliki eksistensi ini, marilah kita bersama-sama mencarinya. Sungguh sebuah keinginan yang sangat mulia.

Bagi orang awam yang jarang bertemu atau bahkan belum penah kenal dengan kepekaan ini, ia akan muncul di hadapannya dalam sebuah bentuk ketakutan yang tiba-tiba. Orang-orang ini merasa bahwa ia telah takluk pada dunia yang sebenarnya. Mengapa dikatakan demikian? Karena di dalam kepekaan ini kita akan menemukan juga sebuah rasa cemas. Kecemasan ini bukanlah sebuah rasa takut terhadap segala hal yang ada di dalam dunia manusia sehari-hari. Misalnya kita takut ditabrak mobil, ditodong pencuri atau kehilangan seseorang. Bukan ketakutan/kecemasan yang seperti itu yang dimaksudkan di sini. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Heidegger, bahwa kecemasan ini… lebih kepada sebuah rasa yang paling asasi, yang paling dasar dan merupakan kunci guna mengetahui keberadaan kita yang terdalam. Kecemasan ini adalah mengenai diri sendiri.

Bagi orang awam, latar belakang kecemasan ini adalah pengalaman yang cukup umum dan samar-samar, dimana pengalaman itu menjadikan kita tiba-tiba merasa sendirian, dikepung oleh kekosongan hidup dan kita merasa seolah seluruh hidup kita tiada artinya lagi. Inilah yang kemudian selalu dihindari oleh orang -orang awam tersebut. Mereka semua tidak mampu untuk tinggal di dalam kekosongan hidup atau ketiadaan arti itu. Mereka merasa harus cepat-cepat keluar dari kondisi mental tersebut, karena jika lebih lama lagi tinggal di sana, mereka merasa seolah akan ditelan oleh dunia ini, yang sebenarnya adalah dunia fenomena murni itu sendiri.
Mengapa mereka tidak dapat tinggal lebih lama dalam kondisi kekosongan seperti itu? Ini dikarenakan mereka semua telah mengambil sebuah keputusan besar dalam hidup mereka. Setiap hal yang dialami di sepanjang hidup mereka dalam dunia manusia, telah ditenggelamkan di bawah kesadarannya. Sehingga mereka merasa sangat asing, ketika berada dalam kondisi kekosongan mental tadi. Bahkan sesaat ketika mereka ingin meninggalkan kekosongan dari ketiadaan arti tersebut, mereka pun tidak mampu melontarkan sebuah pertanyaan ke dalam diri mereka sendiri: ”mengapa kita harus keluar dari sini ?”. Apakah ini menandakan bahwa mereka tidak akan pernah bertemu dengan kekosongan tersebut? Tidaklah demikian, karena akan ada saatnya nanti, ia… sang kepekaan itu… akan menghadirkan dirinya.

Perlu ditegaskan pula bahwa kecemasan ini bersifat relatif. Manusia yang selalu hidup dalam dunia mereka sendiri dan semakin mengikuti perayaan-perayaan yang ada di dalamnya, maka akan semakin pula mereka merasakan kecemasan. Karena mereka sudah jauh dari dunia eksistensi yang sebenarnya dan begitu pula sebaliknya.

Jadi, kecemasan ini bukan ketakutan terhadap sesuatu yang ada di dunia manusia ini, tetapi ketakutan pada dunia yang sebenarnya itu sendiri.

Bagi saya sendiri, pada saat-saat pertama kali ketika saya mengalami kepekaan ini, rasa cemas itu sudah mengecilkan diri dahulu sebelum tampil di hadapan saya. Ia seperti nya tidak cukup kaya untuk mengembalikan saya pada dunia manusia. Maka dengan sendirinya saya dapat melihat dengan jelas, sesuatu yang berdiri di belakang perasaan itu?

Saya dapat terjun ke dunia di balik perasaan cemas itu untuk melihat sesuatu yang penuh makna dan saya dapat kembali ke dunia manusia dengan membawa sedikit pelajaran dari-nya yang selalu tidak saya sadari.

Awalnya… saya kira ini hanyalah pengalaman hidup biasa dan juga dialami setiap orang di dunia ini, sehingga hal ini dirasakan tidak penting bagiku, dan juga masih asing untuk saya saat itu.

Tapi perjalanan hidup menuntun dan menunjukkan pada saya bahwa ada sesuatu yang lain di dalam kondisi itu. Kondisi tersebut lama kelamaan juga semakin tampil jelas di belakang dunia manusia sehari-hari. Dan hal ini sungguh aneh. Ada semacam konektisitas antara penglihatan saya terhadap apa yang berdiri di balik rasa cemas itu dengan sebuah gerak yang ada di belakang atau yang mendasari dunia manusia sehari-hari.

Hal ini kemudian membuat saya semakin sering dijumpai oleh kepekaan itu dan saya sendiri untuk saat itu belum cukup mampu untuk membuat suatu janji pertemuan dengan-nya. Kemudian sang kepekaan itu sendiri yang sering datang menjumpai saya dan menginginkan saya mengenal lebih dalam lagi sesuatu yang berada di balik dirinya?!
Semakin hari, kepekaan ini semakin sering muncul dan semakin pula ketakutan serta kecemasan itu mengecil dan sirna. Secara tanpa sadar, sebenarnya saya sudah mulai menyingkirkan banyak hal dalam dunia manusia, yang sering disamarkan oleh manusia ke dalam sistem dan nilai-nilai selama ini.

Pada saat seperti ini saya belum dapat bertanya ”dari mana” dan ”ke mana” kepekaan ini akan membawa saya? Yang pasti ia sering hadir dan semakin memperlihatkan kepada saya sebuah kebermaknaan yang masih tertutup rapat oleh sejumlah kekerdilan dari rasa cemas. Walaupun kecemasan ini dihindari oleh sebagian besar orang awam, tapi bagi saya saat itu . . . dan mari kita lihat bersama - sama: ketika kita berdamai dengannya, ia perlahan-lahan akan mengendapkan dirinya dan menjadi tenang. Dengan segera ia akan menemukan sebuah jalan baru yang saya sebut sebagai sebuah keterbukaan ,

¤ Keterbukaan dan Kekaguman…

Saat kecemasan sirna secara total, datanglah sebuah keterbukaan yang baru bagi jiwa. Ia bagaikan sebuah gerbang awal yang akan mengantarkan kita menuju sebuah kebebasan dalam mental. Kebebasan ini bukanlah sebuah kebebasan berpikir yang tanpa aturan atau berpikir bebas melalui imajinasi. Ia lebih kepada sebuah kebebasan yang terbuka pada pikiran itu sendiri, dimana tidak terpengaruh oleh perasaan-perasaan manusia pada umumnya. Misalnya rasa sedih, senang, marah, kecewa dan lain-lain. Dan perlulah diketahui bahwa perasaan-perasaan tadi bukanlah perasaan yang essensial dari eksistensi manusia yang sebenarnya. Mereka semua mempunyai kutub pemaknaan masing-masing yang dapat mengarahkan kita kembali kepada segala penentuan manusia di dunia ini.
Kebebasan itu adalah sebuah pembebasan dari segala hal dalam dunia manusia. Kebebasan itu adalah gerakan dari segala sesuatu yang tidak bebas jika kita tinggal di dalam dunia manusia dan memandang dunia pada dirinya sendiri. Dan… kebebasan itu adalah sesuatu yang bebas jika kita tinggal di dalam gerakan dari segala sesuatu itu serta menyadari adanya dunia manusia.
Pemahaman atas yang terakhir inilah yang akan kita temukan jika kita tetap bertahan dalam sebuah keterbukaan. Maka ini berarti juga bahwa dunia manusia bukanlah seluruhnya tidak dapat dipegang sama sekali. Justru karena kita pernah hidup di dalam dunia pengalaman dan pengetahuan manusia itu, kita memiliki peluang lebih besar untuk mengerti apa yang diinginkan kehidupan itu sendiri. Terutama ketika seluruh pengalaman dan pengetahuan tersebut memperlihatkan sebuah kecenderungan negatif yang tak berujung di dalam setiap sisi kehidupan manusia.
Dengan sifat keterbukaan ini, kita sebenarnya sudah berdiri sejajar dengan dunia sebenarnya. Kita sadar bahwa kita tidak memperobjek atas segala sesuatu yang tampil di sekeliling kita. Keterbukaan ini seperti sebuah jalan panjang yang terbentang di depan mata dan harus kita lalui untuk sampai pada sebuah puncak pemahaman yang lebih murni. Ini berarti sifat tersebut akan tetap menjiwai kita di sepanjang perjalanan. Tapi coba lihat di ujung jalan dari keterbukaan itu, ada garis horizontal yang menandakan betapa abadinya di sana. Ia sepertinya tidak bertepi, mengagumkan dan penuh makna. Kemana ia akan membawa kita nantinya? Ke mana? Bukankah posisi kita sekarang adalah yang ”ke mana” itu, jika dipandang dari dua kutub jalan yang jauh itu?! Dan bukankah yang sekarang ini, detik ini, posisi kita sekarang adalah yang tak bertepi itu?
Ya… beberapa pertanyaan ini sepertinya bertanya, tapi juga sekaligus menjawab untuk dirinya sendiri, bahwa sifat keterbukaan ini sebenarnya tidak pernah menaruh sesuatu apa pun pada kutub-kutub orientasi tertentu. Ia tidak pernah membeda-bedakan apa pun. Bagi ia, setiap momen dan posisi adalah yang tak bertepi dan yang penuh makna itu. Maka, terjunlah kita dalam keterbukaan itu sendiri. Kita tidak perlu jalan ke mana-mana lagi, karena ia akan tetap berada dalam sebuah kesamaan adanya. Kalaupun ada perbedaan, berhati–hati-lah, mungkin kita telah membuka diri kita sendiri kembali pada sesuatu yang paling indah dalam hidup kita, pengalaman kita atau segala tatanan manusia di alam bawah sadar kita. Jadi, terjunlah sekali lagi ke dalam kesamaan itu, kita akan menemukan sebuah perbedaan di dalamnya, sebuah perbedaan murni yang merupakan sebuah aliran bahasa yang lebih murni dari dunia pada dirinya sendiri.
Keterbukaan.., apakah ia merupakan sebuah peralihan menuju suatu pemahaman? Tidaklah demikian, ia bersama-sama dengan kepekaan lebih sebagai sebuah landasan serta berada di sepanjang perjalanan kita menuju sebuah puncak kebermaknaan dari kehidupan yang sebenarnya. Ia adalah perasaan hati kita apa adanya dan… biarkan-lah ia mengarahkan kita.
Tenggelam dan dengar-lah, mungkin inilah sepasang kata yang harus kita berikan kepada keadaan jiwa kita yang sekarang. Pada saat seperti ini pula pengetahuan, pengalaman maupun tradisi yang menjiwai sebuah masyarakat tidak lagi mempengaruhi kita. Karena kita telah membuka diri serta menjadikan kondisi mental kita tanpa terisi oleh apa pun.
Tapi, sepertinya ada sesuatu yang lain yang membuat kita tetap berdiri di dalam keterbukaan tersebut?
Ada semacam kekaguman yang tumbuh di dalam diri kita begitu saja. Sebuah kekaguman atas sesuatu yang tak bertepi itu. Ia terhubung erat dengan intuisi kita, sehingga intuisi kita dapat berada pada dirinya sendiri. Kekaguman ini terjadi bukan terhadap hal-hal yang konkret di dalam dunia manusia. Ia sebenarnya ada, tapi kita tidak mengetahuinya dengan pasti, karena kita belum memahaminya dengan baik saat ini. Kita masih dalam sebuah perjalanan panjang ke dalam diri, yaitu menuju eksistensi kita sebagai manusia.
Kekaguman inilah yang kemudian menjiwai kita. Dan di dalam inti dari keseluruhan kekaguman itu sendiri, kita menemukan sebuah kenikmatan dan kegembiraan yang masih terasa samar - samar. Apakah kita tahu? Ia sebenarnya sedang menunggu, agar kita memakan umpan emasnya yang sudah disiapkan sejak bumi ini terbentuk? Kita sebenarnya tidak perlu malu-malu untuk menggapai umpan tersebut. Gapailah! Kita akan ditarik ke atas menembus lapisan demi lapisan air dan kotoran yang selama ini mengotori kolam pikiran kita. Tapi yang aneh, selalu saja kita lebih senang hidup dalam kekotoran kolam kita sendiri. Kita sendiri mengatakan bahwa itu bersih, karena sebenarnya kekotoran itu sudah menjiwai kita sejak lahir. Kita juga kemudian menolak tali pancingan yang berusaha menarik kita ke atas, yang juga menjadikan kita takut untuk meninggalkan teman-teman kita yang disebut bersih tadi. Sungguh sulit…! Maka, keterbukaan itu sendiri mungkin tidak terlalu berdaya untuk mendorong hal ini. Tapi, kekaguman kita yang terbuka-lah yang kemudian dapat membuat kita langsung loncat ke daratan emas tanpa perlu ditarik lagi oleh seorang pemancing sejati. Kita sendirilah yang akan tahu, ke mana arah dan ke mana aliran dari tarikan pancing itu. Sehingga ketika sampai di daratan, kita dapat melihat dengan jelas dari atas betapa keruhnya sungai yang sebelumnya kita selami dan kita anggap bersih itu.
Di sini kekaguman kita mulai melebur, dan kita bertanya pada sang pemancing: apa yang membuat kita tiba-tiba loncat kemari? Pemancing itu akan menjawab bahwa ketika kita di dalam kolam, rasa peka dan keterbukaan kita-lah yang membuat kita mampu melihat umpan emas di antara air keruh itu. Dan, jejak tali pancing yang mengarah ke daratan adalah sebuah rasa kekaguman yang kita miliki. Kata-kata yang keluar dari mulutnya seperti geledek pembersihan atas pikiran kita. Dan sekarang seandainya kita terjun kembali lagi di antara air keruh tersebut, kita sendirilah yang akan menjadi bagian dari umpan emas itu. Kolam pikiran kita tidak akan dapat dikotori oleh siapa pun dan apa pun, bahkan kita sendiri dapat melihat dengan jelas keinginan yang terdalam dari kekeruhan itu sendiri. Di dalam setiap kolam kekeruhan, ada sebuah keterbukaan yang tersembunyi. Tapi, bagi para manusia itu sendiri, mereka tidak akan menyadarinya. Setiap hari mereka hanya bermain-main di antara air yang keruh itu. Maka untuk kita, sebagai bagian dari umpan emas, bila ingin menyadarkan mereka akan keterbukaan, kita harus menyamar diri menjadi sebuah kekeruhan yang paling murni di antara mereka. Bagaimana cara-nya? Sebuah cara untuk menyadarkan mereka?.., itulah yang ingin dicari dengan keterbukaan kita yang sempurna.
Maka, apakah ketika kita meloncat ke dalam sebuah kolam yang keruh, kita dapat langsung menemukan cara itu? Agak sulit. Mungkin kita harus tinggal beberapa lama di dalam kekeruhan itu dan mencoba memahami dengan sebuah keterbukaan penuh yang telah diberi oleh sang pemancing di atas daratan tadi.
Beberapa lama, itulah waktu kita, sebuah durasi eksistensi manusia untuk belajar dalam sebuah kolam kekeruhan. Yang selanjutnya akan terdengar lebih manusiawi, bila itu dikatakan sebagai sebuah proses pembelajaran yang tidak mempelajari apa pun.

¤ Belajar Untuk Tidak Mempelajari…

Sampai sekarang kita telah memiliki sang umpan emas keterbukaan, yang sebenarnya adalah keterbukaan ke dalam diri kita sendiri. Tinggallah kita ”di sana”, di dalamnya, agar keterkaitan global dalam dunia, yaitu dunia manusia dan dunia pada dirinya sendiri dapat tertampil dengan murni. Semakin lama dan semakin sering kita tinggal ”di sana”, dengan sendirinya semua teori dan konsep serta pengalaman kita akan semakin ter-reduksi. Pereduksian ini seringkali terjadi tidak sesuai dengan harapan kita, yang seharusnya memang bahwa kita tidaklah perlu mengharapkan sesuatu dari dunia ini, karena harapan adalah sebuah keputusan dari ide subjektivitas kita. Biarkan keterbukaan yang menumbuhkan dan membawa kita dari alam bawah sadar kita hingga menuju sebuah kesadaran yang disebut pemahaman. Bagaimana semua ini dapat berlangsung?

Pada mulanya kita akan terjun ke dalam keberadaan dari sebuah lingkungan konkret. Di dalam lingkungan ini terdapat kolam jiwa, yaitu kolam dari sejumlah ide manusia yang tidak terhingga. Semua ide itu selalu saling mempertentangkan dan juga saling membenarkan satu sama lain. Dari sejumlah ide yang berlaku dalam diri seorang subjek sampai dengan sejumlah ide yang berlaku di seluruh jagat raya ini. Bagaimana kita dapat melihat sebuah kesamaan di antara perbedaan yang kelihatan tak terhingga ini?

Pastikan penyelaman tetap berjalan dengan sendiri dan apa adanya. Ketika kita kembali kepada kekeruhan dalam sebuah lingkungan konkret sebagai umpan emas, yang muncul pertama adalah kehendak kita. Kehendak ini adalah sebuah gerakan mental di bawah kesadaran kita. Ia seperti sebuah peralihan warna yang berubah di dalam mental dari hitam menjadi putih. Ia juga seperti gerak merangkaikan daya-daya mental yang sangat kecil di dalam diri kita… Begitulah sifat sang kehendak itu. Ia berjalan bukan mengekori jejak diri kita atau pun jejak dari orang banyak, tapi walaupun begitu ia tergantung dari semua itu. Di saat kolam jiwa memiliki kemurnian ide yang semakin kental, kehendak akan berubah dan berjalan semakin cepat dan menampilkan semakin jelas apa yang ada di balik semua itu. Kembali lagi, gerakan kehendak itu tentunya akan dapat kita lihat kalau kita sudah menjadi umpan emas dari kepekaan, keterbukaan serta kekaguman yang telah kita lampaui ketika di atas daratan tadi.

Perubahan yang tidak dapat ditangkap oleh diri kita dan orang lain ini adalah sebuah perubahan yang alami. Ia tidak kita sadari, ia mereduksi pikiran dan mengarahkan daya-daya di dalam mental kita, sehingga kemudian kita akan melakukan sesuatu tanpa berpikir. Sekarang mungkin kita bertanya, sesuatu tanpa berpikir berarti ia tidak menggunakan pikiran, bagaimana mungkin? Hal ini memang tidak mungkin. Berpikir melibatkan seluruh pengalaman dan pengetahuan hidup kita. Pengalaman masa lalu saling merangkai membentuk keputusan di masa kini. Sedang pengetahuan objektif kita memiliki peranan besar sebagai aturan dalam merangkaikan unit-unit pengalaman tersebut. Pernahkah disadari, bahwa selama hidup, kita selalu bermain-main di dalam lingkaran pikiran ini. Misalnya saja dimana ketika seseorang mempunyai keinginan subjektif yang sesuai dengan aturan main dari pengetahuan objektif, maka dengan sendirinya terbentuklah sekelompok orang yang dikatakan memiliki kelebihan dalam segala hal daripada sekelompok orang lain yang tidak mampu mengikuti ke arah hal-hal yang objektif itu. Ketidak-mampuan mengikuti dari kelompok orang kecil tersebut, menimbulkan kebrutalan dalam kehidupan manusia, sehingga menciptakan kekacauan yang dilihat sangat mengancam sekelompok orang yang serba lebih tadi. Maka, diciptakanlah sebuah penjara objektif bagi kawanan orang-orang kecil itu yang disebut hukum. Kalaupun ada sebagian orang yang menyisakan kelebihannya bagi orang -orang kecil tersebut, itu hanyalah sekumpulan cara dari pikiran untuk menyamarkan dirinya. Kita tidak akan tahu hal ini, karena kita selalu berdiri sejajar dengan pikiran–pikiran objektif yang tercipta, bahkan berada di bawah kendalinya. Dan, apakah kita semua tahu, bahwa hukum yang tercipta dari pikiran adalah sebuah keegoisan global, yang merupakan orang tua dari keegoisan-keegoisan kecil di dunia ini. Inilah fenomenanya, inilah pikiran pada dirinya sendiri dan… inilah lingkaran kedalaman dari pikiran itu.

Untuk mencapai, memahami dan melampaui fenomena ini, kehendak kita harus berjalan sesuai dengan keterbukaannya. Pada momen–momen seperti ini kita sebenarnya sedang dalam proses belajar untuk tidak mempelajari. Kita berjalan dan diri kita terbagi dalam sebuah transisi antara hukum-hukum dalam pikiran dengan keterbukaan kita. Perubahan ini dengan sendirinya menyeleksi dan membuang segala bentuk mental mengada manusia di alam bawah sadar kita. Ia akan menyingkirkan daya - daya dilematis dalam jiwa. Kita tidak tahu bahwa sebenarnya keterbukaan telah hadir di dalam ketidaksadaran kita dan telah berjalan bersama-sama dengan jiwa kita yang paling murni. Dan kita juga tidak sadar bahwa setiap keping -keping nilai dan rantai - rantai ilusi ide dari manusia yang telah menjiwa di dalam diri kita sejak lahir, kemudian mulai berjatuhan dan meleleh sedikit demi sedikit dari alam bawah sadar kita.

Apakah kita sadar bahwa alam bawah sadar kita merupakan pabrik penggerak keadaan sadar dan prasadar kita? Itulah, dengan dicerahkannya alam bawah sadar kita dari penjara pikiran, ataupun penjara intuitif, maka akan tiba saatnya sebuah pemahaman yang terbuka muncul secara tiba - tiba di dalam kesadaran kita. Kita tidak akan mengetahui kapan ia akan muncul dan seberapa lama pencerahan di alam bawah sadar itu berlangsung?! Yang pasti, kata-kata seperti kapan dan berapa lama ini bukanlah sebuah dimensi waktu dunia manusia, ia lebih kepada sebuah durasi eksistensi kehidupan yang sebenarnya.

Kembali, setelah dicerahkan, intuisi kemanusiaan yang sejak lama terselubung oleh lautan ide manusia, sekarang kembali kepada dirinya sendiri dan mulai mendominasi alam bawah sadar kita. Maka perlulah kita tetap bertahan ”di sana”, di dalam sebuah keterbukaan, karena kemanusiaan sejati sedang melambai-lambaikan tangannya di tengah kabut yang tebal.
Ketika ada segumpalan fenomena yang tampil dalam kondisi kesadaran kita yang disebut sebagai pemahaman, kita akan merasakan bahwa pemahaman ini belum sepenuhnya tampil pada dirinya sendiri. Sepertinya masih ada segumpalan fenomena yang sedang dicerahkan di alam bawah sadar kita.
Lalu, apakah kita harus menyingkirkan kabut - kabut yang ada di depan mata kita ini? Tidaklah perlu, jangan kita yang melakukan, biarkanlah keterbukaan kita yang membukanya sendiri.

Momentum-momentum pencerahan akan hadir ke dalam diri kita. Celah-celah cahaya yang semula tertutup rapat kemudian makin membesar serta makin bertambah banyak. Dan coba lihat lebih dekat lagi, tali-tali cahaya ternyata tidak hanya menembus, ia juga membawa serta dirinya yang telah disucikan untuk diperlihatkan ke dalam jiwa kita secara perlahan-lahan.
Dan sekali lagi, jangan sekali-kali kita mencoba mencari dan membongkar celah-celah tersebut, karena itu sama saja melemparkan diri kita kembali ke dalam lautan ide manusia. Maka… biarkanlah segalanya berjalan dengan sendiri. Itulah sebuah perjalanan transisi dari pemahaman, yang akan membawa diri kita menuju sebuah pemahaman yang penuh.

¤ Menuju Sebuah Pemahaman Besar…

Pemahaman ini adalah sebuah perjalanan keterbukaan dalam proses belajar untuk tidak mempelajari. Ia ada, muncul dan kita sadari pertama kali dengan sebuah ketiba-tibaan. Hal ini terjadi terutama ketika keterbukaan kita mengalami sebuah dentuman besar di alam bawah sadar, sehingga menimbulkan sebuah loncatan daya mental intuitif, yang dengan sendirinya membersihkan persepsi kita terhadap dunia manusia yang sedang kita tinggal sekarang.

Dunia manusia atau yang lebih nyata lagi disebut lingkungan konkret, pada awalnya sudah terdapat suatu daya penggerak yang diciptakan oleh manusia itu sendiri. Tapi ketika kesenjangan terjadi, daya-daya penggerak tersebut mengalami benturan-benturan yang semakin lama semakin kompleks. Sehingga manusia berusaha meredakan kompleksitas tersebut dengan menciptakan daya penggerak yang baru. Dan ini memang berhasil. Tetapi hal yang kompleks tersebut lama-kelamaan terulang kembali dan diselesaikan dengan penggerak ide yang lain lagi. Hal ini selalu terulang-ulang, sehingga terjadi tumpang tindih ide-ide manusia yang sudah tidak diketahui lagi mana yang benar dan mana yang salah. Di sinilah manusia yang ada di dalamnya terkuasai oleh pikirannya sendiri dan tidak tahu lagi jalan keluar terbaik. Tapi dengan keterbukaan kita, semua hal itu bukanlah sebuah jalan buntu. Kejelasan tampil dalam pemahaman kita, dimana semakin lama kita tinggal di dalam suatu lingkungan konkret manusia, semakin pula kita memahami sisi gelap yang menggerakkan segala sesuatu di belakang lingkungan konkret tersebut.

Kita tiba-tiba akan tersentak dan menyadari bahwa ternyata selama ini kita telah hidup di dalam air keruh bersama dengan topeng-topeng penggerak yang diciptakan manusia. Ide, teori, dan aturan, itulah sejumlah nama yang diberikan oleh hasil dari keagungan pikiran kita. Ia-lah yang selama ini mengisi dan menyamarkan diri kita semua menjadi sebuah diri yang disebut subjek ataupun objek. Ia juga yang sebenarnya membuat diri kita menjadi buta terhadap segala sesuatu yang berada di sekitar kita.

Yang perlu diingat adalah ketiba-tibaan yang kita alami ini hanyalah sebuah pemahaman kecil. Kita masih harus menunggu ketiba-tibaan berikutnya, supaya pemahaman kecil ini dapat bertumbuh dengan baik dan menjadi sebuah pemahaman yang besar dan penuh… Maka biarkanlah ia bersama keterbukaannya menduduki kursi emas di dalam diri kita. Pemahaman kecil… ia sudah lebih dari cukup untuk menguasai dan mengendalikan kepekaan dan keterbukaan kita. Dengan demikian, ia akan memahami juga segala kemungkinan yang terwujud di dalam diri sang topeng penggerak yang ada di sekitarnya, walaupun masih agak kabur. Tetapi coba lihat, sebenarnya kekaburan ini sudah menunjukkan bahwa ia telah memiliki daya penglihatan untuk menjembatani dirinya sendiri menuju sebuah kedewasaan. Sumber daya gerak pemahaman kecil ini sebenarnya berasal dari intuisi kemanusiaan kita yang sedang dalam proses pembebasan di alam bawah sadar. Sedangkan dirinya sendiri sedang berada dalam dunia manusia, di dalam kesadaran. Kondisi alam kesadaran ini sekarang seperti sebuah pasar induk yang mempunyai hubungan dengan pemahaman kecil dan segala keramaian persepsi dan asosiasi dari dunia manusia. Dengan kata lain, pemahaman kecil mempunyai daya-daya kesadaran murni atas apa yang terjadi di alam bawah sadar dan segala topeng penggerak yang masuk ke dalam mental melalui jalur indera kita. Sehingga kita kemudian dapat melacak lebih baik ke mana perginya sang topeng itu di saat matahari terbit sampai terbenam, dan juga setiap hal yang ada di belakang ekspresinya yang mempesona itu. Sekali lagi… topeng-topeng penggerak ini sebenarnya dibuat oleh manusia berdasarkan pengertiannya sendiri terhadap kehidupan. Manusia lebih memakai pikiran untuk membuatnya daripada dirinya yang merupakan bagian dari entitas dunia itu sendiri.

Apakah kita sadar, kadang-kadang pemahaman kecil ini mengandung kebencian terhadap apa yang ditampilkan sang topeng. Ia dapat salah meng-interpretasi dan dapat mengacaukan pikiran kita serta membuat kita bingung. Ia sebenarnya belum cukup bijak untuk memutuskan sesuatu. Tapi selama keterbukaan kita masih berlangsung, pemahaman kecil ini akan berangsur-angsur tumbuh menuju sebuah pemahaman besar. Di mana ia dapat melihat lebih jauh dan dapat menembus kabut-kabut pikiran yang semula membelenggunya. Di matanya topeng-topeng penggerak bukan sesuatu yang jahat dan tercemar lagi untuknya. Sekarang, ia malah menjadi senang berteman dengan semua itu. Ia juga belajar dari sang topeng, agar dirinya lebih cepat lagi membesar daripada yang terdahulu.

Walaupun gerakan-gerakan sang topeng selalu bertentangan dengannya atau bahkan ingin membunuhnya, ia tidak pernah lagi membencinya. Kalaupun ada kebencian di dalam diri pemahaman besar ini terhadap sang topeng, itu hanyalah sebuah kebencian yang kecil, yang tidak akan beranak lagi di kemudian hari. Kebencian ini sudah terikat dan lumpuh serta dikucilkan jauh di dalam kesadaran kita, bahkan sudah lenyap. Pada saat seperti ini, pemahaman besar pada diri sendiri dapat melihat proyeksi kemungkinan-kemungkinan gerak lain dari topeng - topeng mengada manusia tersebut. Gerak-gerak lain ini adalah sesuatu yang tidak hadir di lingkungan konkret ataupun di dalam mental kita. Ia hanya kita rasakan secara samar-samar dan bergerak sedikit liar. Mungkin inilah dimensi lain dari pikiran kita itu. Ia seperti sebuah kekacauan yang terjadi, karena sebentar lagi dirinya akan dikendalikan oleh intuisi kemanusiaan kita yang sesungguhnya. Keterbukaan terhadap kemungkinan-kemungkinan gerak ini, tidaklah berpengaruh terhadap lingkungan konkret dan mental kita. Hanya saja mereka kita sadari. Kehadirannya, dan tentu saja sisi murni dari semua itu juga merupakan bagian dari pemahaman terhadap keseluruhan yang saling berhubungan dalam dunia yang sebenarnya.

Kita kemudian akan melihat, bahwa sang topeng atau ide penggerak manusia itu sendiri sebenarnya tidak mengenal dirinya dengan baik, justru pemahaman besar yang akan mengatakan pada sang topeng bahwa dirinya-lah yang lebih mengenal mereka semua daripada mereka mengenal diri mereka sendiri.

Ya, di sinilah pemahaman besar itu menunjukkan kebijaksanaannya. Ia mampu melihat dengan jelas ke dalam mata sang topeng, ada sebuah pagar ketidaktahuan yang mengurung mereka. Dan untuk mendobrak pagar itu tidaklah mudah, karena mereka tahu benar bahwa pagar tersebut adalah benteng mereka untuk bertahan hidup di dunia manusia. Siapa yang memiliki pagar yang paling kokoh, ia-lah yang paling hidup dan berjaya. Sebuah semboyan yang penuh keegoisan.

Bagi pemahaman besar, segala keegoisan ini adalah wujud ketidaktahuan. Pemahaman besar ini juga telah mampu untuk meng-interpretasikan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Ada semacam keseragaman atau kesamaan yang bergerak secara murni oleh intuisi kemanusiaan dalam setiap hal yang terkait secara menyeluruh dalam dunia manusia. Dan ini-lah yang menjiwai setiap mengada manusia di muka bumi ini. Ketika pemahaman besar mulai mengental dan perjalanan sebuah renungan dapat dilalui dengan sebuah loncatan mungil, kita akan memasuki medan penglihatan.


¤ Penglihatan…

Penglihatan.., demikianlah saya menyebutnya kepada sebuah pemahaman besar yang sudah berjalan stabil. Berawal dengan sebuah pemahaman besar, yang sebenarnya masih belum terbiasa dengan kaki barunya itu. Ia masihlah harus banyak belajar untuk memahami dirinya sendiri. Ia juga masih harus menyadari kemungkinan-kemungkinan gerak ide yang banyak di dunia ini. Tapi yang pasti ia telah memiliki kunci emas untuk membuka segala selubung yang ada di balik kemungkinan-kemungkinan itu.

Medan penglihatan ini mulai terbuka ketika dinding pemisah antara alam bawah sadar, alam prasadar serta alam sadar kita semakin menipis dan luruh tersapu oleh lautan daya intuitif kemanusiaan yang terbebas. Ini disebabkan karena pemahaman besar masih berpegang teguh dengan keterbukaan pada dirinya sendiri. Lama kelamaan sebuah totalitas daya mental terjadi. Tidak ada lagi batas-batas, belenggu, serta berbagai pagar yang dapat menahan arus totalitas ini. Ia adalah satu kesatuan yang terus bergerak dengan segala sesuatu yang berdiri di belakang lingkungan konkret. Sehingga apa yang ada di dalamnya bukanlah segala daya gerak ide beserta kekonkretan yang seringkali diterima melalui persepsi. Juga bukan merupakan pengetahuan dan pengalaman masa lalu yang terlontar kembali. Kalaupun semua itu hadir, mereka hanyalah sebagai materi–materi selubung yang bergerak di permukaan dari lautan gerak intuitif kemanusiaan kita. Maka, penglihatan lebih merupakan aktivitas menyeluruh kesadaran murni dari mental kita hingga eksistensi kita yang terdalam sebagai manusia. Dengan demikian kita dapat melihat benda dengan segala gerakan-nya dalam suatu ide tertentu hingga benda tersebut pada dirinya sendiri. Kita juga dapat melihat sebuah lingkungan sosial dengan segala pola tatanannya beserta hal–hal esensial yang bergerak di belakang semua pola itu. Singkatnya kita telah dapat memposisikan diri kita pada suatu kesejajaran terhadap segala sesuatu di alam semesta ini.

Penglihatan pada awalnya juga perlu menempuh suatu perjalanan. Tetapi jejak-jejak formasi, keteraturan beserta kestatisan-nya yang terselubung dalam perjalanan itu sudah dikenalnya dengan sangat baik, terutama ketika pemahaman besar mencapai ketuaannya. Maka perjalanan yang ada dalam penglihatan merupakan sebuah perjalanan yang singkat dan pendek, dimana ia merupakan sebuah pemahaman yang cepat tanggap.

Dengan cepat, penglihatan dapat memandang segala sesuatu di sekitarnya dengan murni. Kemurnian itulah yang kemudian bersahabat baik dengan kemurnian yang ada di dalam diri kita sekarang. Kita merasa bahwa kita adalah bagian dari mereka semua, yang berada dalam sebuah totalitas. Ketika kita tinggal di dalam totalitas tersebut… ketika kita tinggal di dalam penglihatan itu… sebuah makna murni muncul begitu saja di dalam mental kita. Di dalam makna murni ini segala sesuatu menjadi satu. Tidak ada lagi letupan-letupan yang berorientasi kepada sesuatu. Tidak ada lagi perasaan yang pada umumnya dirasakan oleh manusia biasa layaknya. Dan, tidak ada lagi materi-materi mental yang berkaitan dengan lingkungan konkret.
Penglihatan ini mencapai suatu puncak yang mengambang. Yang kemudian saya namakan sebagai sebuah puncak kebermaknaan Roh Semesta.

¤ Kita Telah Berada di Sana…

Sebuah Puncak Kebermaknaan Roh Semesta…
Bagaimana saya harus menceritakan yang satu ini? Ia adalah sebuah kondisi yang dihasilkan oleh penglihatan yang murni.
Dunia telah tampil, serta kembali kepada dirinya sendiri dan kita merasakan kita adalah bagian dari mereka. Semuanya telanjang dan tampil jelas. Kita tidak ada hubungan lagi dengan dunia manusia beserta segala ciptaannya. Kita dan semua manusia kembali kepada dirinya sebagai manusia yang sesungguhnya… Ia adalah sebuah kemanusiaan.

Sudah tidak ada lagi perjalanan yang perlu kita tempuh. Dan mulai sekarang kita akan tinggal di dalam puncak kebermaknaan ini serta kita akan berteman baik dengannya. Coba lihat, ketika kita menjadi bagian dari mereka sebagai satu kesatuan, setiap langkah dan momen dalam hidup kita menjadi berarti. Kita memandang sebuah benda, ataupun melakukan sesuatu yang dulunya selalu kita hindari dan salah tafsir, sekarang menjadi begitu bermakna untuk kita. Kita sangat menikmati setiap detik dari kondisi apapun yang terjadi pada diri kita.

Hal ini sebenarnya dirasakan masih agak kabur dan mengambang, tetapi ia ada dan ia hadir di dalam diri kita – sekitar kita. Apakah kita tahu, bahwa kekaburan ini adalah sebuah hal yang sudah jelas secara penuh? Bagaimana mungkin? Sulit memang untuk menjelaskan fenomena ini. Ia telah melampaui semua jenis mengada manusia di dunia, termasuk bahasa. Ia bahkan telah melampaui mental yang ada dalam diri kita. Sehingga bila dikatakan kita memahami, sebenarnya lebih memiliki arti bahwa kita merasakan dan berdiri sejajar dengan-nya saja. Hanya kita perlu menjauhi makna dari kata memahami yang biasanya ditafsirkan seolah-olah mengandung arti menguasai dan berdiri di atas sesuatu. Maka sekali lagi, memahami secara murni terhadap kondisi puncak kebermaknaan ini hanya akan terpenuhi di dalam mental kita yang tenang. Ia, kepenuhan ini akan mengalami penurunan jika ingin dikomunikasikan ke dalam segala bentuk apa pun dalam dunia. Agar penurunan ini dapat dikurangi dan terjembatani, perlulah kita mencelupkan tangan kita lebih dalam lagi pada puncak kebermaknaan ini. Seandainya kita ingin mendengarkan dan mengetahui apa yang ia bicarakan setiap hari, bukankah akan lebih baik jika kita tinggal di dalam kediaman-nya untuk beberapa waktu?!

Keseluruhan dari ia sangat ramah sekali memperlakukan kita. Setiap saat kita disapa tidak hanya dengan perkataan dan perbuatan, tetapi ia mengirimkan keinginan-nya yang sama dengan keinginan kita. Ketika ia berkehendak menginginkan segala sesuatu, kita sendiri sudah tahu apa yang ia inginkan. Segala sesuatu itu tidak mengenal waktu, ia lebih bersifat temporal. Dan kalaupun di antara ia dan kita yang bertubuh buruk dan kemudian membusuk meninggalkan dunia manusia, itu hanyalah sebuah kematian kecil, yang merupakan kehendak dari segala sesuatu itu. Kematian hanyalah sebuah pengakhiran yang tidak menimbulkan letupan apa pun di dalam kediaman ini. Jadi, ini semua adalah sebuah totalitas yang berkendak sama.
Tapi tunggu… jika berkehendak, berarti di dalam totalitas kediaman ini mempunyai sebuah pola gerak tertentu. Pola gerak itu lebih menyerupai bisikan dalam sesuatu yang sedang mengalir. Apa yang dibisikkan oleh aliran itu? Sepertinya ada pesan yang ingin disampaikan. . . sebuah totalitas kekosongan-kah?…

Maka penjelasan untuk totalitas ini, kata-kata seperti ”kita” dan ”ia” seharusnya sudah tidak ada lagi pada bagian ini. Karena dengan kata-kata tersebut, penjelasan terhadap puncak kebermaknaan menjadi tidak terpenuhi. Lalu… mari coba direnungkan, sepertinya setiap kata tidak lagi dapat memenuhi kepenuhan makna dari puncak kebermaknaan ini. Setiap kata seperti memiliki penjaranya sendiri, maknanya menjadi tidak mengalir, lalu bagaimana ia harus menceritakan sesuatu yang mengalir?
Yang pasti, totalitas ini adalah segala sesuatu yang berdimensi holistik, menyatu dan abstrak.
Jadi… puncak kebermaknaan apa itu? Apakah totalitas dari segala sesuatu itu tahu bahwa sebenarnya puncak kebermaknaan ini adalah sesuatu yang tidak bermakna? Oh… sepertinya tidak penuh juga jika dikatakan demikian, lalu bagaimana? Mungkin akan lebih baik, kita lupakan tulisan pada bagian ini ketika kita sudah memahami-nya... Ia sebenarnya kosong.

¤ Ia Mengalir… Ia adalah Sebuah Bahasa Murni Kekosongan…

Selanjutnya apa yang kita rasakan adalah seperti sebuah kondisi yang sedang mengalir…
Kita akan menyadari ada sesuatu yang sedang mengarahkan kesadaran murni kita. Sesuatu, apakah itu? Dan ke mana ia akan membawa kita? Sebenarnya dua pertanyaan ini tidak akan pernah lagi menampakkan diri, seandainya kita telah murni berada di dalam aliran itu. Dan perlu-lah diketahui aliran tersebut tidak memperkenankan kita bertanya apa pun. Karena ketika bertanya, kita sudah melemparnya ke bawah telapak kaki kita yang terdalam, kita juga telah membuatnya malu dan malah telah membunuhnya karena malunya itu. Maka, jadikan kita bagian dari aliran dan aliran adalah bagian dari kita.

Tidakkah kita sadari, bahwa bertanya merupakan uluran tangan dari sang pikiran untuk mengeluarkan kita dari aliran itu. Dengan membuat kita bertanya tanpa ia harus menyediakan jawaban, kita sudah terpancing untuk menyambut tangannya yang penuh dengan kepalsuan. Apakah kita tidak tahu, setelah kita ditarik keluar, ia akan menelantarkan kita bersama dengan teman-temannya yang lain. Dimana kita dan temannya serta ia sendiri sebagai pemegang peluit, siap untuk maju untuk bertanya dan bertanya terus. Kalau ada jawaban di sana, mereka semua akan menjadi musuh dan berperang satu sama lain. Mungkin akan lebih baik jika mereka dalam posisi bertanya terus-menerus. Maka jadilah ia hidup untuk bertanya dan setelah mati pun mereka masih bertanya. Sungguh, mereka semua telah memasuki palung penasaran keabadian… sebuah keterjatuhan.

Dari itu, mari kita duduk diam dan mendengarkan aliran itu. Kemudian, bukankah dengan perlahan ia akan menjulurkan tangannya yang mungil kepada kita? Dan bukankah pula sekarang ini di sekeliling kita telah mengalir sebuah sungai emas?! Iya . . . kita telah mengalir bersamanya dalam sebuah aliran yaitu aliran dari bahasa murni kekosongan.

Tetapi perlu kita ingat, janganlah membawa serta diri kita yang berasal dari dunia manusia untuk ikut terjun ke dalamnya. Karena ia, yang sebelumnya satu wadah tubuh dengan kita, terlalu banyak membawa topeng-topeng palsu yang mungkin akan mengacaukan pesta tari-tarian yang berlangsung di dalam sungai tersebut nantinya. Ketahuilah, bahwa tari-tarian ini sebenarnya juga memiliki pertanyaan. Tapi pertanyaannya sangat berbeda dengan yang diajukan oleh pikiran, dimana jawaban yang muncul hanya-lah sebuah ilusi yang terpikirkan. Sedang, untuk tarian yang murni ini, dimana saat ketika kita merangkai sebuah pertanyaan, saat itu pula jawaban muncul. Ia sepertinya datang dan lenyap secara bersamaan serta berlangsung sedemikian cepat dan padatnya. Sehingga seolah-olah ia memiliki sebuah totalitas kontinuitas yang ber-intensi dan berkesinambungan. Hal ini kita rasakan, karena jamur-jamur pikiran belum punah sepenuhnya, ia masih menyelimuti intuisi kemanusiaan kita. Dengan menyatakan kalimat yang terakhir ini, sebenarnya kita sudah menyadari bahwa inti bisikan dari kontinuitas tersebut sebenarnya tidaklah ber-intensi. Ia tidak berisi apa pun. Ia kosong, tenang dan hening. Tapi inilah pesan terdalam dari aliran bahasa murni itu.

Hanya saja ketika sesaat ia ingin dikomunikasikan, percikan kecil dari daya komunikatif yang terjadi di dalam diri kita ini menjadikan benih-benih jamur pikiran tumbuh dan membumi di dalam mental kita, serta sekaligus menjadikan pesan dari aliran itu bermakna seperti yang kita sebut sebagai puncak kebermaknaan. Tapi benih-benih tersebut masih-lah terikat dan tidak akan membesar lagi. Hal ini dikarenakan kita menyadarinya dan karena juga kita menyadari ada yang lebih murni lagi di antara semua itu, yaitu aliran dari bahasa murni yang tidak terkomunikasikan, bahkan di dalam diri kita sekalipun.

Maka apa yang dapat kita lakukan untuk memahami bisikan bahasa murni ini? Kita hanya dapat menari dan menari, terutama untuk sebuah tarian yang kosong. Itulah yang dapat kita lakukan sekarang. Tapi yang aneh, tarian kosong ini dapat membuat kita puas, dimana kepuasan ini adalah sebuah kepuasan yang tanpa keinginan. Sungguh sebuah pengalaman yang unik…
Dan sekali lagi, bagaimana saya harus menceritakan semua ini?


¤ ¤ ¤

http://katharsis-completejourney.blogspot.com/2008/11/sebuah-perenungan-perjalanan-menuju.html

Rabu, 05 Mei 2010

TUJUH SAP FILISOFI SUNAN DRAJAT

Filosofi Sunan Drajat dalam pengentasan kemiskinan kini terabadikan dalam sap tangga ke tujuh dari tataran komplek Makam Sunan Drajat. Secara lengkap makna filosofis ke tujuh sap tangga tersebut sebagai berikut :

1. Memangun resep teyasing Sasomo
(kita selalu membuat senang hati orang lain)

2. Jroning suko kudu eling Ian waspodo
(di dalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada)

3. Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah
(dalam perjalanan untuk mencapai cita - cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan)

4. Meper Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu)

5. Heneng - Hening - Henung
(dalam keadaan diam kita akan mem­peroleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita - cita luhur).

6. Mulyo guno Panca Waktu
(suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan salat lima waktu)

7. Menehono teken marang wong kang wuto, Menehono mangan marang wong kang luwe, Menehono busono marang wong kang wudo, Menehono ngiyup marang wongkang kodanan
(Berilah ilmu agar orang menjadi pandai, Sejahterakanlah kehidupan masya­rakat yang miskin, Ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya malu, serta beri perlindungan orang yang menderita)

:"(